Friday, March 27, 2009

Sejarah Pengumpulan Al Quran

Pendahuluan

Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung pelbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.

Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.

Mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9: "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan kamilah yang akan menjaganya"

Al-Quran pada zaman Rasulullah SAW.
Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:

Pertama : al Jam'u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.

Kedua : al Jam'u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya " (Hadis dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal 8) dan Ahmad (hal 1).

Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang ".

Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma'qal.

Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al-Qur’an tersebut jatuh ke tangan mereka”.

Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al-Qur’an kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.

Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Al-Qur’an selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al-Qur’an diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.

Al-Quran pada zaman Khalifah Abu Bakar as Sidq

SEPENINGGAL Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al-Qur’an, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam'ul Quran yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).

Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Al-Qur’an yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi:

"Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al-Qur’an, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Qur’an, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al-Qur’an, lalu aku berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ?" Umar menjawab: "Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan".

Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al-Qur’an.

Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Qur’an) untuk Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf".

Zaid berkata : "Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Kemudian aku teliti Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain).

Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.

Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : " Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf).

Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang dikumpulkan dan di bundel sebagai MUSHAF" dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al-Qur’an yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al-Qur’an sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al-Qur’an)"

Al-Quran pada zaman khalifah Umar bin Khatab

Tidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu Al-Qur’an pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas ke-Al-Quranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda'.

Al-Quran pada zaman khalifah Usman bin ‘Affan

Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja ('Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.

Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al-Qur’an, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al-Qur’an yang mengarah kepada perselisihan.

Ia berkata : "wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al-Qur’an, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".

Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.

Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al-Qur’an ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa mereka.

Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al-Qur’an selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.

Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.

Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al-Qur’an.

Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).

Tanda Yang Mempermudah Membaca Al-Quran

Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan umat islam dilarang untuk melihatnya.

Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bagian asia tengah).

Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa adanya.

Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir di semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.

Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata "Warasuulihi" yang seharusnya dibaca "Warasuuluhu" yang terdapat pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.

Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti "adzabun alim" dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham seperti "ghafurrur rahim".

Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.

Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an khususnya bagi orang selain arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad.

Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah 'ain.

Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al-Qur’an adalah Tajzi' yaitu tanda pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu sendiri.

Sebelum ditemukan mesin cetak, Al-Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Al-Qur'an untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.

Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini semakin mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg Rusia.

Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman , Fluegel, menerbitkan Al-Qur’an yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat.

Sayangnya, terbitan Al-Qur’an yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al-Qur’an dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.

Cetakan Al-Qur’an yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.

Monday, March 23, 2009

Pengertian Ilmu Tajwid

Pengertian Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu.Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaidah serta cara-cara membaca Al-Quran dengan sebaik-baiknya. Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan Al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca. Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardlu kifayah, sedang membaca Al-Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardlu ‘Ain. Dalil Wajib Mempraktekkan Tajwid Dalam Setiap Pembacaan Al-Qur’an:

Dalil dari Al-Qur’an. Firman Allah s.w.t.:Artinya: Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan/tartil (bertajwid) [Q.S. Al-Muzzammil (73): 4]. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah s.w.t. memerintahkan Nabi s.a.w. untuk membaca Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dengan tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid). Firman Allah s.w.t. yang lain:Artinya: Dan Kami (Allah) telah bacakan (Al-Qur’an itu) kepada (Muhammad s.a.w.) secara tartil (bertajwid) [Q.S. Al-Furqaan (25): 32].
Dalil dari As-Sunnah. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a. (istri Nabi s.a.w.), ketika beliau ditanya tentang bagaiman bacaan dan sholat Rasulullah s.a.w., maka beliau menjawab:Artinya: "Ketahuilah bahwa Baginda s.a.w. sholat kemudian tidur yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi, kemudian Baginda kembali sholat yang lamanya sama seperti ketika beliau tidur tadi, kemudian tidur lagi yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi hingga menjelang shubuh. Kemudian dia (Ummu Salamah) mencontohkan cara bacaan Rasulullah s.a.w. dengan menunjukkan (satu) bacaan yang menjelaskan (ucapan) huruf-hurufnya satu persatu." (Hadits 2847 Jamik At-Tirmizi) Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah Ibnu ‘Amr, Rasulullah s.a.w. bersabda:Artinya: "Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang, yaitu: Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim, Mu’az bin Jabal dan Ubai bin Ka’ad." (Hadits ke 4615 dari Sahih Al-Bukhari).
Dalil dari Ijma' Ulama. Telah sepakat para ulama sepanjang zaman sejak dari zaman Rasulullah s.a.w. sampai dengan sekarang dalam menyatakan bahwa membaca Al-Qur’an secara bertajwid adalah suatu yang fardhu dan wajib. Pengarang kitab Nihayah menyatakan: "Sesungguhnya telah ijma’ (sepakat) semua imam dari kalangan ulama yang dipercaya bahwa tajwid adalah suatu hal yang wajib sejak zaman Nabi s.a.w. sampai dengan sekarang dan tiada seorangpun yang mempertikaikan kewajiban ini."

Wednesday, March 11, 2009

HUKUM MENYENTUH AL-QURAN TANPA WUDUK

Pertama: Ijma’ fuqaha’ menetapkan harus membaca alQur’an tanpa wudhu‘ dan tanpa menyentuh musyhaf, namun berwudhu’ itu lebih afdhal (Imam Syaraf anNawawi, alMajmu’ Jld 2, ms 76)
Kedua: Orang berhadas kecil membaca, menyentuh dan membawa dari musyhaf. Khilaf fiqhi, jumhur (termasuk Syafi’iyah) menegahnya berdasarkan dalil Qur’ani alWaqi’ah:78-79 dan hadis riwayat Malik dan Baihaqi dari Umar bin Hizam.
Para pentahqeeq (penilai semula) terdiri dari pentarjih hadis dan ahli tafsir alQur’an berpendapat orang berhadas kecil dan besar boleh membawa, menyentuh dan membaca alQur’an. Antaranya ialah Imam alHafidz asySyawkani (nailool Awthor, Jld 1), Imam alHafiz Ibn Hajar (Fathul Baari, Jld 1) mereka menggunakan pendapat Ibn Abbas, pentafsir nombor satu alQur’an yg mentafsirkan ayat 79 dalam surah alWaqi’ah yg secara mutlak merujuk kepada Malaikat, kerana ayat 11-16 (S Abasa) dan ayat alBuruj 21-22) memperkuatkan tafsiran ayat 79 (S Waqi’ah) itu adalah Malaikat. Dari pengkaji hadis pula mendapati hadis-hadis yg menegah orang hadas menyentuh alQur’an ada cacatnya.
Seorang pengkaji semula hukum-hukum fiqih dari Saudi, Syaikh Abu Yusof Abd Rahman Abd Samad,as-ilatu thalatah Haulaha al Jadal merumuskan dari perselisihan fuqaha’ ini,. hukum pertengahan ialah Makruh hukumnya orang berhadas menyentuh dan membawa musyhaf.
Dalil setiap pendapat
1. Dalil golongan yang mengatakan haram:
a. Firman Allah Ta’ala dalam Surah al-Waqiah ayat 79:لا يمسه إلا المطهرون(Tidak menyentuhnya kecuali mereka yang suci)
Mereka mengatakan ganti nama nya dalam ayat itu balik kepada al-Qur’an, bukannya Luh Mahfuz.Akan tetapi mereka khilaf pula, apakah yang dimaksudkan dgn al-Mutahharun? Ada yang kata: Orang yang suci dari hadas dan najis. Yang lain pula kata: Suci dari syirik dan kekufuran, iaitu orang-orang mukmin. [sila rujuk Tafsir al-Qurtubi 17/226]
Sebahagian ulama’ berpendapat, ganti nama tersebut balik kepada Luh Mahfuz. Jadi, tak boleh berhujah dgn ayat ini. al-Mutahharun pula adalah para Malaikat yang Allah bersihkan mereka dari tabiat yang negatif dan sifat-sifat yang tercela. Ayat ini sebenarnya satu penafian dan penolakan kepada hujah golongan musyrikin yang mendakwa Syaitanlah yang telah menurunkan kitab al-Qur’an ini. Sila rujuk ayat 210-212 surah al-Syu’ara’.Antara hujah yang menyokong pendapat ini -sebagaimana yang disebut oleh Qatadah- ialah al-Qur’an boleh dipegang di dunia ini oleh si Majusi dan si Munafiq yang dianggap najis, sedangkan al-Qur’an kata, ia tidak dipegang kecuali oleh mereka yang suci. [sila rujuk Tafsir al-Tabari 17/226]
al-Alusi menyebut di dalam tafsirnya Ruhul Ma’ani (27/155): Imam Sayuti menyebut di dalam kitab al-Ahkam: Imam Syafie berdalilkan ayat ini dgn mengatakan orang yang berhadas tidak boleh memegang al-Qur’an. Ini adalah pilihan yang zahir dari ayat ini. Akan tetapi oleh kerana ada ihtimal/kemungkinan ganti nama boleh balik kepada Qur’an dan juga kepada Luh Mahfuz, dan maksud al-Mutahharun ialah Malaikat al-Muqarrabun, kebanyakan ulama’ yang berkata haram berpindah kepada beristidlal dgn hadis.
Manakala Ibn Rusyd pula berkata (Bidayatul Mujtahid 1/42): Sebab khilaf ialah perkataan al-Mutahharun boleh membawa makna manusia dan juga malaikat, di samping ayat ini juga boleh jadi suatu perkhabaran yang bermaksud larangan dan juga boleh jadi perkhabaran semata-mata.
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwatta’, dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazmi, bahawa dalam kitab yang ditulis oleh Rasulullah s.a.w kepada ‘Amru bin Hazmi terdapat: أن لا يمس القرآن إلا طاهر (bahawa tidak boleh memegang al-Qur’an kecuali orang yang suci) [Muwatta' 141].
Hadis ini merupakan petikan dari kitab yang ditulis oleh Nabi kepada ‘Amru bin Hazmi di Yaman. Kitab ini berada bersama kaum keluarga beliau selepas kematiannya. al-Daruqutni dan al-Hakim pula meriwayatkan bahawa Umar bin Abdul Aziz telah menghantar wakil ke Madinah untuk mencari sesuatu petunjuk sunnah Nabi dalam bab zakat dan wakilnya itu telah menjumpai kitab ini dalam simpanan keturunan ‘Amru bin Hazmi [lihat komentar Syeikh Ahmad Syakir dlm kitab al-Muhalla oleh Ibn Hazmi 1/82].
Syeikh Ahmad Syakir menyebut bahawa beliau telah menjumpai hadis ini selengkapnya dalam Mustadrak al-Hakim (1/359, cetakan India) di mana sebahagian darinya terdapat juga di dalam sahih Ibnu Hibban, sunan al-Daruqutni dan sunan al-Nasaie.
Komentar ttg hadis ini ialah sanadnya mursal. Ibnu Abdil Barri berkata: Tiada khilaf dari Imam Malik bahawa hadis ini mursal. Walau bagaimanapun ia diriwayat secara bersanad dari jalan lain yang bagus. Ia adalah sebuah kitab yang masyhur di kalangan ahli sejarah dan terkenal di kalangan ulama’ di mana kemasyhurannya itu menyebabkan ia tidak perlu (dilihat) kepada sanadnya [kata-kata ini dinukil oleh penyunting kitab Muwatta’ ms 141].
Ibnu Kathir menyebut bahawa Abu Daud telah meriwayatkan di dalam kitab al-Marasil dari hadis al-Zuhri bahawa beliau berkata: Aku telah membaca di dalam sahifah Abu Bakar bin Amru bin Hazmi bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci. Ibnu Kathir berkata: Ini adalah sesuatu yang bagus. Al-Zuhri dll telah membacanya, dan yang seperti ini sepatutnya diambil (dipegang) [Tafsir Ibnu Kathir 6/537].
Hadis ini diriwayatkan secara bersambung sanadnya dari empat orang sahabat, iaitu ‘Amru bin Hazmi, Hakim bin Hizam, Ibnu Umar, dan Uthman bin Abi al-‘As.
Al-Marhum Syeikh Nasiruddin al-Albani [di dalam kitab Irwa’ul Ghalil (1/160-161)] telah menyebut kesemua sanad hadis ini dan kitab-kitab hadis yang mentakhrijnya, kemudian beliau berkata: Sesungguhnya kesemua jalan hadis ini tidak bebas dari unsur dhaif. Akan tetapi dhaifnya itu adalah kecil kerana tiada perawi yang dituduh sebagai pendusta. ‘Illah hadis ini hanya irsal atau hafalan yang kurang baik, dan sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam ilmu Mustalahul hadis bahawa setiap jalan periwayatan hadis boleh menguatkan di antara satu sama lain sekiranya tiada rawi yang dituduh pendusta. Ini telah dinyatakan oleh al-Nawawi di dalam Taqribnya dan al-Suyuti di dalam syarahnya. Diri ini menyatakan penerimaan terhadap kesahihan hadis ini, lebih-lebih lagi Imam Ahmad telah berhujah dgn hadis ini. Imam Ishaq bin Rahawaih juga telah mentashihkannya. Ishaq al-Maruzi berkata di dalam kitab Masa’il Imam Ahmad: Aku bertanya Imam Ahmad: Bolehkah seorang lelaki itu membaca Qur’an tanpa wudhu’? Imam Ahmad menjawab: Ya, boleh. Tapi dia tidak boleh membaca di mashaf selagi dia tidak berwudhu’. Ini kerana telah sabit dari Nabi s.a.w: Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci. Begitulah juga yang telah dilakukan oleh para sahabat dan tabiein.
Syeikh al-Albani juga menyebut bahawa telah sabit dan sah riwayat yang mengatakan Sa’ad bin Abi Waqqas telah menyuruh anaknya Mus’ab supaya berwudhu’ dahulu sebelum menyentuh al-Qur’an. Ia diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Baihaqi dgn sanad yang sahih.
Beliau juga berkata bahawa beliau telah membaca kitab Fawa’id Abi Syu’aib dan mendapati Imam al-Baghawi telah bertanya Imam Ahmad ttg hadis ini. Imam Ahmad berkata: Aku harap ianya sahih.
Sebenarnya kesahihan hadis ini juga telah dinyatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau telah berhujah dgn hadis ini di banyak tempat dalam kitabnya [lihat Majmu’ Fatawa 17/12 & 21/228]
Al-San’ani berkata: Kitab ‘Amru bin Hazmi telah sepakat diterima ramai. Ibnu Abdil Barri pula berkata: Ia seperti mutawatir kerana telah sepakat diterima ramai. Ya’qub bin Sinan juga berkata: Aku tidak tahu di sana ada sebuah kitab yang lebih sahih dari kitab ini. Sesungguhnya para sahabat dan tabiein merujuk kepadanya dan meninggalkan pendapat mereka sendiri. Al-Hakim berkata: Umar bin Abdul Aziz dan Imam zamannya, iaitu al-Zuhri telah menyaksikan bahawa kitab ini adalah sahih [lihat Subulussalam oleh al-San’ani 1/70]
2. Dalil golongan yang mengatakan boleh.
a. Ibnu Hazmi berkata: Membaca al-Qur’an, memegangnya, dan berzikir kepada Allah adalah perbuatan baik yang disunatkan dan diberi pahala kepada pelakunya. Sesiapa yang mengatakan ia kekadang (yakni dalam sesetengah keadaan) terlarang perlulah membawakan bukti! [al-Muhalla 1/78]
b. Hadis dalam Sahih Bukhari: dari Ibnu Abbas bahawa Abu Sufyan ketika beliau berada di Syam sebelum keislamannya telah dipanggil oleh Raja Rom. Kemudian dibawakan surat Nabi yang dihantar kepadanya yang menyeru beliau kepada Islam. Di dalam surat itu terdapat ayat 63 Surah Aali Imran.
Hujah mereka ialah Nabi telah menulis kepada Raja Rom yang kafir dan beliau telah memegangnya. Sekiranya orang kafir boleh pegang, maka lebih-lebih lagilah orang yang berhadas.
Pihak yang mengatakan haram menjawab: Surat tersebut mengandungi bukan saya ayat ini tetapi ada juga perkara lain. Ia sebenarnya sama dgn kitab Fekah atau Tafsir, dan Jumhur ulama’ mengatakan boleh memegangnya walaupun tidak berwudhu’.
Tetapi Ibnu Hazmi menjawab balik dgn berkata: Sekiranya kamu kata Nabi telah hantar satu ayat saya kepada Raja Rom, Nabi sebenarnya boleh hantar lebih banyak dari itu. Kamu kan ahlul Qiyas. Kalau kamu tak boleh qiyaskan ayat yang banyak dgn satu ayat, maka kamu jgn qiyaskan ayat lain dgn ayat ini!.
Sekian.

ADAB-ADAB MEMBACA AL-QURAN

Tertib lahiriah dalam membaca al-Quran
Dalam membaca al-Quran ada beberapa hal yang harus diperhatikan iaitu :
Pertama : Hendaklah ia berada dalam keadaan berwudhu' terus menerus dengan penuh adab dan tenang. Dia boleh membaca secara berdiri ataupun duduk, tetapi sebaik-baiknya menghadap kiblat, menundukkan kepala , tidak duduk secra bersilang kaki, tidak bersandar ataupun duduk seperti duduknya orang-orang yang sombong (takabbur). Kiranya ia membaca al-Qur'an tanpa berwudhu', atau dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur tidak ada salahnya hanya pahalanya kurang.
Allah telah berfirman:
"Iaitu mereka yang mengingati Allah (berzikir) dalam keadaan berdiri dan duduk dan ketika berbaring serta memikirkan tentang kejadian petala langit dan bumi." (al-Imran: 191)
Allah s.w.t. telah memuji mereka mengingati Allah dan memikirkan penciptaan langit dan bumi, bermula dengan orang yang berzikir dalam keadaan berdiri, kemudian yang dalam keadaan duduk dan seterusnya dalam keadaan berbaring.
Kedua : Dalam kadar pembacaan al-Qur'an setiap hari, kerana bagi orang-orang yang membaca al-Quran itu ada beberapa cara dan adat dalam membacanya sama ada banyak atau sedikit. Tetapi cara yang dipilih dari Usman, zaid bin Tsabit, Ibnul Mas'ud dan Ubai bin ka'ab radhiallahu-anhum dilakukan pengkhataman bacaan Al-Quran pada tiap-tipa hari Jum'at dengan dibahagikan bacaannya kepada tujuh hizib (bahagian al-Quran)
Ketiga : Membaca Al-Qur'an dengan tartil atau memperelokkan bacaannya dengan lagu atau tajwid. Yang demikian itu adalah sangat-sangat dituntut dalam cara membaca al-Qur'an, kerana tujuan utama membacanya ialah memikirkan maksud-maksudnya. Cara membacanya dengan tartil itu akan dapat menolong memahami maksud-maksudnya. Sebab itu Ummu Salamah r.a. bila membaca al-Qur'an sering mencontohi bacaan Rasulullah s.a.w dan membacanya seolah-olah ia sedang mentafsirkan huruf demi huruf dari al-Qur'an itu.
Ibnu Abas r.a. pula berkata: Bagiku jika membaca surah al-Baqrah dan surah ali-Imran dengan penuh tartil dan memahami semua maksud-maksudnya adalah lebih aku utamakan daripada membaca seluruh al-Qur'an secara sambil lalu saja.
Nyatakan, bahawasanya membaca al-Qur'an dengan tartil dan tertib satu persatu itu lebih dekat kepada tanda penghargaan dan penghormatan dan akan meninggalkan kesan yang mendalam di dalam hati daripada membacanya secara tergesa-gesa dan sambil lewat saja.
Keempat : Menangis ketika membacanya. Ini adalah sangat di tuntut dan puncanya tentulah dari kehibaan di hati, ketika ia memikirkan tentang ayat-ayat yang berunsur ancaman dan kecaman serta-serta janji-janji Allah yang disediakan terhadap orang-orang yang melanggar perintah-perintahNya. Dalam pada itu hendaklah ia mengira-ngira dirinya yang selalu mencuaikan perintah-perintah Allah dan laranganNya lalu ia merasa sedih dan hiba, dan pada ketika itu tentulah ia akan menangis.
Kelima : Hendaklah ia memberikan pada setiap ayat yang dibacanya itu haknya. Bila sampai membaca ayat Sajdah, hendaklah ia membuat Sujud Tilawah (Sujud Bacaan). Begitu juga, sekiranya ia mendengar ayat Sajdah itu dibaca oleh orang lain, hendaklah ia bersujud tilawah juga. Tetapi janganlah bersujud melainkan ia dalam keadaan suci yakni ada wudhu'. Cara bersujud tilawah itu ialah bertakbir Takbiratul-ihram dengan mengangkat kedua tangannya dulu, lalu bertakbir lagi membuat sujud dan sesudah sujud bertakbir pula, kemudian duduk semula, kemudian salam.
Keenam : Hendaklah ia memuliakan membaca al-Qur'an itu dengan terlebih dulu membaca:
"Aku berlindung dengan Allah yang Maha Mendengar lagi Mengetahui daripada syaitan yang terkutuk".
Kemudian teruskanlah membaca ayat al-Qur'an itu dan bila sampai kepada ayat tasbih, hendaklah ia bertasbih dan bertakbir. Bila sampai kepada ayat yang memberikan janji-janji yang baik, hendaklah ia meminta agar diberikan kurnia Allah dan rahmatNya. Begitu juga bila sampai kepada ayat yang menjanjikan ancaman dan siksaan, hendaklah ia meminta perlindungan Allah daripadanya. Semua doa ini boleh dilakukan dengan menyebutnya dengan lidah, yakni memohon dengan berdoa atau membacanya di dalam hati saja.
Ketujuh : Membaca al-Quran dengan suara rendah kerana yang demikian itu adaalah lebih selamat daripada riya' dan menunjuk-nunjuk kepada orang ramai. Cara ini adalah utama bagi orang yang bimbang dirinya akar tercebur ke dalam riya' Tetapi jika ia tiada bimbag akan timbul sifat riya' dalam dirinya, dan jika ia membaca dengan suara yang nyaring itu tiada pula mengganggu orang yang sedang bersembahyang maka dalam keadaan yang seumpama itu, membaca al-Qur'an dengan suara yang tinggi atau nyaring itu lebih utama, sebab kebanyakan bacaan yang diamalkan ialah dengan suara yang tinggi.
Selain itu, membaca dengan suara yang tinggi itu akan menghidupkan hati dan menarik perhatian untuk memikirkan ayat-ayat yang dibacanya, dan ia juga akan menolak rasa mengantuk dan menambah tenaga untuk membaca terus dan menguragi perasaan malas. Bila lengkap pada diri seseorang itu semua sifat-sifat yang disebutkan ini, maka hendaklah ia membaca dengan suara yang tinggi atau nyaring, sebab baginya itulah yang utama.
Kedelapan : Memperindahkan bacaan al-Qur'an dan mentertibkannya jangan sampai dibacakan terlalu panjang, sehingga merosakkan susunannya, dan yang demikian iru adalah sunnat hukumnya.
Ada sebuah Hadis berbunyi:
"Perindahkanlah (bacaan) al-Quran dengan suara kamu."
Hadis yang lain pula:
"Tiada dikira dalam golongan kami, orang yang tiada membacanya dengan suara yang baik"
Maksud dari suara yang baik di sini, ada yang mengartikan dengan melagukan al-Qur'an lain dengan mengiramakannya. Dan yang lain lagi dengan mengulangi-ulangi iramanya, dan maksud yang terakhir ini lebih dekat pada istilah ahli bahasa.
Pernah Rasulullah s.a.w. mendengar Abu Musa al-Asy'ari melagukan al-Qur'an, lantas baginda bersabda: Sesungguhnya orang ini telah dikurniakan suara seperti seruling keluarga daud. Dalam suatu riwayat yang lain ada dikatakan bahwa para sahabat Rasulullah s.a.w bila terkumpul dalam suatu majlis dusuruhnyalah salah seorang di antara mereka membaca suatu surah dari al-Qur'an.

ADAB-ADAB MEMBACA AL-QURAN





Tertib lahiriah dalam membaca al-Quran:

Dalam membaca al-Quran ada beberapa hal yang harus diperhatikan iaitu :

Pertama : Hendaklah ia berada dalam keadaan berwudhu' terus menerus dengan penuh adab dan tenang. Dia boleh membaca secara berdiri ataupun duduk, tetapi sebaik-baiknya menghadap kiblat, menundukkan kepala , tidak duduk secra bersilang kaki, tidak bersandar ataupun duduk seperti duduknya orang-orang yang sombong (takabbur). Kiranya ia membaca al-Qur'an tanpa berwudhu', atau dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur tidak ada salahnya hanya pahalanya kurang.
Allah telah berfirman:
"Iaitu mereka yang mengingati Allah (berzikir) dalam keadaan berdiri dan duduk dan ketika berbaring serta memikirkan tentang kejadian petala langit dan bumi." (al-Imran: 191)
Allah s.w.t. telah memuji mereka mengingati Allah dan memikirkan penciptaan langit dan bumi, bermula dengan orang yang berzikir dalam keadaan berdiri, kemudian yang dalam keadaan duduk dan seterusnya dalam keadaan berbaring.

Kedua : Dalam kadar pembacaan al-Qur'an setiap hari, kerana bagi orang-orang yang membaca al-Quran itu ada beberapa cara dan adat dalam membacanya sama ada banyak atau sedikit. Tetapi cara yang dipilih dari Usman, zaid bin Tsabit, Ibnul Mas'ud dan Ubai bin ka'ab radhiallahu-anhum dilakukan pengkhataman bacaan Al-Quran pada tiap-tipa hari Jum'at dengan dibahagikan bacaannya kepada tujuh hizib (bahagian al-Quran)

Ketiga : Membaca Al-Qur'an dengan tartil atau memperelokkan bacaannya dengan lagu atau tajwid. Yang demikian itu adalah sangat-sangat dituntut dalam cara membaca al-Qur'an, kerana tujuan utama membacanya ialah memikirkan maksud-maksudnya. Cara membacanya dengan tartil itu akan dapat menolong memahami maksud-maksudnya. Sebab itu Ummu Salamah r.a. bila membaca al-Qur'an sering mencontohi bacaan Rasulullah s.a.w dan membacanya seolah-olah ia sedang mentafsirkan huruf demi huruf dari al-Qur'an itu.
Ibnu Abas r.a. pula berkata: Bagiku jika membaca surah al-Baqrah dan surah ali-Imran dengan penuh tartil dan memahami semua maksud-maksudnya adalah lebih aku utamakan daripada membaca seluruh al-Qur'an secara sambil lalu saja.
Nyatakan, bahawasanya membaca al-Qur'an dengan tartil dan tertib satu persatu itu lebih dekat kepada tanda penghargaan dan penghormatan dan akan meninggalkan kesan yang mendalam di dalam hati daripada membacanya secara tergesa-gesa dan sambil lewat saja.

Keempat : Menangis ketika membacanya. Ini adalah sangat di tuntut dan puncanya tentulah dari kehibaan di hati, ketika ia memikirkan tentang ayat-ayat yang berunsur ancaman dan kecaman serta-serta janji-janji Allah yang disediakan terhadap orang-orang yang melanggar perintah-perintahNya. Dalam pada itu hendaklah ia mengira-ngira dirinya yang selalu mencuaikan perintah-perintah Allah dan laranganNya lalu ia merasa sedih dan hiba, dan pada ketika itu tentulah ia akan menangis.

Kelima : Hendaklah ia memberikan pada setiap ayat yang dibacanya itu haknya. Bila sampai membaca ayat Sajdah, hendaklah ia membuat Sujud Tilawah (Sujud Bacaan). Begitu juga, sekiranya ia mendengar ayat Sajdah itu dibaca oleh orang lain, hendaklah ia bersujud tilawah juga. Tetapi janganlah bersujud melainkan ia dalam keadaan suci yakni ada wudhu'. Cara bersujud tilawah itu ialah bertakbir Takbiratul-ihram dengan mengangkat kedua tangannya dulu, lalu bertakbir lagi membuat sujud dan sesudah sujud bertakbir pula, kemudian duduk semula, kemudian salam.

Keenam : Hendaklah ia memuliakan membaca al-Qur'an itu dengan terlebih dulu membaca:
"Aku berlindung dengan Allah yang Maha Mendengar lagi Mengetahui daripada syaitan yang terkutuk".
Kemudian teruskanlah membaca ayat al-Qur'an itu dan bila sampai kepada ayat tasbih, hendaklah ia bertasbih dan bertakbir. Bila sampai kepada ayat yang memberikan janji-janji yang baik, hendaklah ia meminta agar diberikan kurnia Allah dan rahmatNya. Begitu juga bila sampai kepada ayat yang menjanjikan ancaman dan siksaan, hendaklah ia meminta perlindungan Allah daripadanya. Semua doa ini boleh dilakukan dengan menyebutnya dengan lidah, yakni memohon dengan berdoa atau membacanya di dalam hati saja.

Ketujuh : Membaca al-Quran dengan suara rendah kerana yang demikian itu adaalah lebih selamat daripada riya' dan menunjuk-nunjuk kepada orang ramai. Cara ini adalah utama bagi orang yang bimbang dirinya akar tercebur ke dalam riya' Tetapi jika ia tiada bimbag akan timbul sifat riya' dalam dirinya, dan jika ia membaca dengan suara yang nyaring itu tiada pula mengganggu orang yang sedang bersembahyang maka dalam keadaan yang seumpama itu, membaca al-Qur'an dengan suara yang tinggi atau nyaring itu lebih utama, sebab kebanyakan bacaan yang diamalkan ialah dengan suara yang tinggi.
Selain itu, membaca dengan suara yang tinggi itu akan menghidupkan hati dan menarik perhatian untuk memikirkan ayat-ayat yang dibacanya, dan ia juga akan menolak rasa mengantuk dan menambah tenaga untuk membaca terus dan menguragi perasaan malas. Bila lengkap pada diri seseorang itu semua sifat-sifat yang disebutkan ini, maka hendaklah ia membaca dengan suara yang tinggi atau nyaring, sebab baginya itulah yang utama.

Kedelapan : Memperindahkan bacaan al-Qur'an dan mentertibkannya jangan sampai dibacakan terlalu panjang, sehingga merosakkan susunannya, dan yang demikian iru adalah sunnat hukumnya.
Ada sebuah Hadis berbunyi:
"Perindahkanlah (bacaan) al-Quran dengan suara kamu."
Hadis yang lain pula:
"Tiada dikira dalam golongan kami, orang yang tiada membacanya dengan suara yang baik"
Maksud dari suara yang baik di sini, ada yang mengartikan dengan melagukan al-Qur'an lain dengan mengiramakannya. Dan yang lain lagi dengan mengulangi-ulangi iramanya, dan maksud yang terakhir ini lebih dekat pada istilah ahli bahasa.
Pernah Rasulullah s.a.w. mendengar Abu Musa al-Asy'ari melagukan al-Qur'an, lantas baginda bersabda: Sesungguhnya orang ini telah dikurniakan suara seperti seruling keluarga daud. Dalam suatu riwayat yang lain ada dikatakan bahwa para sahabat Rasulullah s.a.w bila terkumpul dalam suatu majlis dusuruhnyalah salah seorang di antara mereka membaca suatu surah dari al-Qur'an.

Tuesday, March 10, 2009

Metodologi P&P Al-Quran

TAJUK 1.1 : METODOLOGI PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN AL-QURAN

Soalan Pertama

Kemukakan dalil-dalil daripada Al Quran atau Al Hadith yang menjadi Nas kepada metodologi @ Kaedah-kaedah (Talaqqi-Musyafahah, Tasmi’, Takrir & Tadarus.)

1. Dalil Kaedah Talaqqi-Musyafahah:

وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
سورة الإسراء : 106

Maksudnya : “Dan Al Quran itu Kami bahagi-bahagikan dia supaya engkau membacakannya kepada manusia dengan lambat, tenang dan Kami menurunkannya beransur-ansur.”


فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
سورة القيامة : 18

Maksudnya : “Oleh itu apabila kami telah menyempurnakan bacaannya ( kepadamu dengan perantaraan Jibril ) maka bacalah menurut bacaannya itu.”

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e قَالَ ِلأُبَيّ : إِنَّ اللهَ أَمَرَنِيْ أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ القرآن قَالَ أُبَي : آللهُ سَمَّانِيْ لَكَ قَالَ اللهُ سَمَّاكَ لِيْ فَجَعَلَ أُبَي يَبْكِي
رَوَاهُ البُخَارِي


Maksudnya : Daripada Anas Bin Malik bahawasanya Rasulullah s.a.w telah berkata kepada Ubay : “ Sesungguhnya Allah menyuruhku membacakan Al Quran padamu” Ubay berkata : ِAdakah Allah memilihku dan menyebut namaku disisimu?. Jawab Nabi: “Allah telah memilih dan menamakan kamu disisiku ” Maka Ubay pun menangis.

قال النَّبِيَّ e : خُذُوْا القُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ : مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْد وَسَالِِمٍ وَمُعَاذِ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
رَوَاهُ البُخَارِي

Maksudnya : Sabda Rasulullah s.a.w : “Ambillah (pelajarilah) Al Quran daripada empat orang iaitu cAbdullah Bin Mascud , Salim , Mucaz dan Ubay Bin Kacab”


2. Dalil Kaedah Tasmi’:

عن عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْد رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لِيْ النَّبِيُّ e : اِقْرَأْ عَلَيَّ القُرْآنَ قُلْتُ : آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ ؟ قَالَ : إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي فافتتحتُ سُوْرَةَ النِّسَاءِ فَلَمَّا بَلَغَتْ : " فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا " قَالَ : حَسْبُكَ فَالتَفَتُّ إِلَيْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ
رَوَاهُ البُخَارِي

Maksudnya : Daripada cAbdullah Bin Mascud katanya : Rasulullah s.a.w telah berkata kepadaku : “ Bacalah Al Quran kepadaku” Aku berkata : Adakah aku perlu membaca kepada kamu sedangkan Al Quran itu diturunkan kepadamu. Jawab Nabi : “Sesungguhnya aku suka mendengar bacaan daripada orang lain” Maka aku membuka surah Al Nisa’ ,tatkala sampai kepada ayat : " فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا " Nabi berkata : “Cukup!” Maka aku berpaling kepadanya dan mengalir airmata dari kedua-dua matanya



عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : كَانَ يَعْرِضُ عَلَى النَّبِيِّ e القُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً فَعَرَضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِيْ العَامِ الَّذِي قُبِضَ فِيْهِ وَكَانَ يَعْتَكِفُ كُلَّ عَامٍ عَشْرًا فَاعْتَكَفَ عِشْرِيْنَ فِيْ العَامِ الَّذِي قُبِضَ فِيْهِ
رَوَاهُ البُخَارِي

Maksudnya : Daripada Abi Hurairah berkata : Rasulullah s.a.w dibentangi ( dibaca) Al Quran satu kali pada tiap-tiap tahun, dan pada tahun beliau s.a.w wafat beliau dibentangi Al quran sebanyak dua kali . Beliau beriktikaf di sepuluh terakhir pada tiap-tiap tahun di bulan Ramadhan dan beriktikaf dua puluh terakhir pada tahun beliau diwafatkan.

3. Dalil Kaedah Takrir:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أَنَّهَا قَالَتْ أَوَّلُ مَا بُدِىءَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ e مِنَ الوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِيْ النَّوْمِ فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيًا إِلاَّ جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الخَلاَءُ وَكَانَ يَخْلُوْ بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيْهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيْ ذَوَاتِ العَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيْجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهِ الحَقُّ وَهُوَ فِيْ غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ المَلَكُ فَقَالَ اِقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِيْ فَغَطَّنِيْ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ ثُمَّ أَرْسَلَنِيْ فَقَالَ اِقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِيْ فَغَطَّنِيْ الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ ثُمَّ أَرْسَلَنِيْ فَقَالَ اِقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِيْ فَغَطَّنِيْ الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِيْ فَقَالَ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ... إلى آخر الحديث
رَوَاهُ البُخَارِي

Maksudnya : Daripada Aishah Ummul Mu’minin r.a katanya : “Wahyu yang mula-mula turun kepada Rasulullah s.a.w ialah berupa mimpi baik waktu beliau tidur.Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau seperti jelasnya cuaca pagi. Semenjak itu hati beliau tertarik hendak mengasingkan diri ke Gua Hira’ . Disitu beliau beribadat beberapa malam tidak pulang kerumah isterinya. Untuk itu beliau membawa bekalan secukupnya . Setelah bekalan habis beliau kembali kepada Khadijah untuk mengambil lagi bekalan secukupnya. Kemudian beliau kembali pula ke Gua Hira’ hingga ke suatu ketika datang kepadanya al Haq (kebenaran atau wahyu) iaitu sewaktu beliau masih berada di Gua Hira’ tersebut.malaikat dating kepadanya lalu katanya : “Bacalah!” Jawab Nabi : “Aku tidak pandai membaca” . Kata Nabi selanjutnya menceritakan “Aku ditarik dan dipeluknya sehingga aku merasa payah dan sukar” .Kemudian aku dilepaskannya dan disuruhnya pula membaca : “ Bacalah!” katanya. Jawabku : “Aku tidak pandai membaca” Aku ditarik dan dipeluknya pula sampai aku merasa payah dan sukar.Kemudian aku dilepaskannya dan disuruhnya pula membaca : “ Bacalah!” katanya .Jawabku : “Aku tidak pandai membaca” Aku ditarik dan dipeluknya untuk kali ketiga kemudian dilepaskannya seraya berkata : اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ

4. Dalil Tadarus :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ e أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ فَلَرَسُوْلُ اللهِ e أَجْوَدُ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ المُرْسَلَةِ
رَوَاهُ البُخَارِي

Maksudnya : Daripada Ibnu Abbas r.a katanya : “Rasulullah s.a.w adalah seorang yang amat pemurah dan terlebih pemurah ketika bulan Ramadhan iaitu ketika Jibril datang menemuinya .Kebiasannya Jibril datang menemui Nabi pada tiap-tiap malam dalam bulan Ramadhan dan kedua-duanya bertadarus Al Quran.Sesungguhnya Rasulullah lebih bersifat pemurah daripada murahnya hembusan angin.”

Rasm Uthmani

1.1 Konsep Rasm Uthmani dan Sejarahnya
1.1.1 Pengertian Rasm
Rasm ialah pembentukan lafaz atau perkataan melalui penggabungan huruf-huruf hijaiyah atau gambaran-gambaran kalimah yang seterusnya dapat dituturkan. Ia juga boleh diertikan sebagai apa sahaja yang berkaitan dengan apa-apa jenis khat.
1.1.2 Pengertian Rasm Uthmani
Rasm Uthmani ialah suatu ilmu yang membicarakan kaedah penulisan kalimah-kalimah ayat Al-Quran yang digunakan dan telah dipersetujui oleh Saidina Uthman ketiha penyalinan dan penulisan Al-Quran. Ia juga dikenali sebagai Rasm Mushaf yang dikirim kepada berbagai daerah dan bandar di bawah taklukannya. Formasi atau bentuk penulisan Al-Quran dalam mushaf-mushaf Uthmani terdapat beberapa kelainan daripada bentuk-bentuk penulisan Bahasa Arab secara konvensional atau sebagaimana kebiasaannya.
1.1.3 Hukum mempelajari Rasm Uthmani
Hukum mempelajari Rasm Uthmani adala fardhu Kifayah.
1.1.4 Keistimewaan Rasm Uthmani
1. Rasm Uthmani Bersifat Tauqifi Bukan Taufiqi
Ia adalah Rasm bimbingan dan tunjuk ajar secara langsung oleh Rasulullah S.A.W. Lebih meyakinkan kita setiap apa yang dikhabarkan kepada rasul, sudah tentu datang daripada Allah. Penulisan Al-Quran seperti itu juga berterusan pada zaman Saidina Abu Bakar dan Saidina Uthman sehinggalah pada zaman selepas itu.


2. Rasm Uthmani Menjadi Sebahagian Rukun Bacaan Al-Quran
Pembacaan Al-Quran adalah sesuatu yang digalakkan dalam Islam dan akan mendapat ganjaran kepada pembacanya yang menepati rukun. Pembacaan yang tidak menepati rukun dikira syaz atau ditolak.
3. Meliputi Tujuh Huruf
Tujuh huruf Al-Quran ini menjadi factor utama dan dasar sehingga menjadikan rasm Uthmani perlu diberi keutamaan bertepatan dengan wajah qiraat yang diajarkan oleh Rasulullah kepadqa sahabat-sahabatnya. Salah satu pendapat yang disepakati oleh kebanyakan ulama ialah tujuh cara bacaan yang meliputi unsure-unsur seperti kata nama, perselisihan pada ikrab, cara tasrif, perselisihan mendahului atau mentakhir sesuatu huruf atau kalimah, ibdal, menambah atau mengurangkan sesuatu huruf atau kalimah dan juga perselisihan pada lahjah sama ada tebal atau nipis, imalah, isymam dan sebagainya.
4. Rasm yang Bertepatan dengan Pembentangan Bacaan Al-Quran Terakhir.
Melalui sirah, nabi melakukan semakan terakhir bacaan Al-Quran dengan malaikat Jibril a.s dan Zaid bin Tsabit, seorang sahabat yang rapat dengannya turut berada bersama dengannya. Oleh sebab demikian, Zaid telah dipertanggungjawabkan untuk menulis dan mengumpul Al-Quran oleh dua orang khalifah iaitu Saidina Abu Bakar dan Saidina Uthman untuk menulis berdasarkan pembentangan tersebut.
Dengan kajian konsep ilmu Rasm Uthmani ini, ianya dapat memelihara dari kesalahan dalam penulisan Al-Quran. Penulisan yang betul dan tepat adalah perkara yang penting untuk kesahihan dalam sebutan sesuatu kalimah.

Monday, March 9, 2009

Tokoh-tokoh Tajwid Tempatan

Tokoh-tokoh tajwid yang banyak memberi sumbangan dalam pengajaran dan pendidikan di Malaysia.

1. Yang Berbahagia Datok Haji Hassan bin Azhari
Datok Hj Hassan bin Azhari dilahirkan pada 18 ogos 1928 di Shuaib Amir Mekah.Beliau dilahirkan dalam keluarga berilmu dan beragama.Ayahnya Azahari B. Hj. Abd Khalid adalah seorang ilmuan yang lama tinggal di Mekah dan mempunyai kesempatan masa yang banyak untuk mendalami ilmu agama dalam pelbagai bidang.Ibunya Hj. Fatimah bt Abd Hakim dari campuran keturunan arab dan Minangkabau .

Pada tahun 1939,Beliau terpaksa meningggalkan Mekah dan berpindah ke Negeri Selangor mengikuti ayahnya yang berkhidmat sebagai guru.Ketika berada di Malaysia,beliau dimasukkan ke Sekolah Marta al ’Ulum al Diniyyah,kemudian ke Sekolah Arab Al Hayat Al Mardhiyyah sekolah arab ke dua di Kampung Jawa Selangor. Beliau menyambung pelajarannya ke Sekolah al Junaid di Singapura. Kemudian ke Sekolah Hishamuddin Selangor. Beliau pernah belajar di Sekolah Melayu Kuala Langat dan Jublee School Klang.

Penglibatan beliau dalam bidang Al Quran amat luas dan beliau mengembangkan kepada masyarakat umum terutamanya dalam bidang tajwid dan makhraj, jenis-jenis qiraat dan tarannum.Beliau meninggalkan asas pendidikan al Quran untuk kanak-kanak melalui pendekatan muqaddam yang diwarisi dengan memperkenalkan kaedahnya sendiri untuk pembacaan asas al Quran bagi kanak-kanak dengan memperkenalkan huruf diikuti dengan perkataan al Quran dan seterusnya diikuti dengan bacaan pula.Kaedah ini diperkenalkan melalui program televisyen dan radio bagi membina kemampuan kanak-kanak membaca al Quran dan juga orang dewasa.

Beliau telah menulis sebuah risalah bertajuk” Muqaddimah Ilmu tajwid” bagi meningkatkan mutu bacaan di kalangan masyarakat Malaysia pada tahun 2001.Pada tahun 2003,beliau telah membentangkan kertas kerja yang bertajuk ”Penghayatan Tajwid Al Quran Dan Amalannya Dalam Masyarakat Hari Ini” di Metrikulasi Universiti Islam Antarabangsa.Beliau juga dijemput keluar negara untuk memberi kursus dalam bidang tajwid di Singapura yang dianjurkan oleh badan masyarakat beberapa kali pada tahun 2000.Beliau telah melibatkan diri dalam bidang penghakiman tajwid peringkat kebangsaan dan antarabangsa selama 50 tahun.

2. Hajjah Faridah Bte. Mat Saman

Anak kelahiran Temerloh Pahang ini dilahirkan pada 29.10.1948.Bapa beliau bernama Mat Saman merupakan seorang imam di kampung.Manakala ibunya bernama Hajah Che Yam Bte. Che Had ,berasal dari Kampung Kubang Terap Pasir Mas Kelantan merupakan seorang qariah istana serta pernah menjadi johan tilawah al Quran peringkat negeri Kelantan.Ibunya telah meninggal dunia pada 2003 ketika berusia 95 tahun.Datuknya bernama Abd Rahman B. Che Man dan neneknya Zainab Bt Osman yang terkenal sebagai guru al Quran di kampungnya semenjak dari muda hingga ke akhir hayat.

Sejarah awal pendidikan beliau ialah di Sekolah Rendah Kebangsaan Pasir Mas yang kini dikenali sebagai SK Sultan Ibrahim 1.Beliau mendapat pendidikan al Quran bermula dari kecil lagi dan telah khatam al Quran pada seawal usia lima tahun lagi mennerusi bimbingan kedua ibubapanya.Semasa usia 12 tahun beliau telah menyambung pengajiannya di sebuah pondok di Thailand selama tiga tahun berguru kepada Ustaz Ghazali Mandaling yang berasal dari Indonisia berketurunan Mekah.Selepas itu beliau berguru dengan Hj Ahmad Ma’sum Pergau yang pernah menjadi johan qari sekitar tahun 1960.Gurunya yang terakhir ialah Hj Nik Jaafar B. Nik Ismail dan Hj Hassan Musa dari Pasir Mas.

Sumbangan beliau sepanjang menceburi bidang al Quran, beliau pernah menerima jemputan memperdengarkan bacaan al Quran dari Mufti Palestin tahun 1965 dan telah mengharumkan nama negara pada peringkat antarabangsa.Beliau menyumbangkan tenaga dengan mengajar anak murid yang berusia 30 hingga 50 tahun yang mahu membetulkan bacaan al quran terutamanya sebutan dan tajwid.Disamping itu beliau menubuhkan kumpulan nasyid yang bernama ”Usratul Faridah” yang terkenal di Malaysia , Thailand dan Singapura.Beliau telah mencatat sejarah sebagai qariah yang paling banyak menjuarai tilawah peringkat antarabangsa sebanyak lapan kali iaitu pada tahun 1964,1965,1972,1976,1977,1989,1990 dan1991.

4. Buku-buku tajwid yang berada di pasaran dan menjadi rujukan masyarakat.


1. Nama buku : Himpunan Tajwid al Quran Al Karim
Nama Pengarang : Tuan Guru Haji Awang Embun bin Haji Umar Al Basyar
Penerbit : Al Fakir Mohamad Rasdi Bin Abdul Malik
Tahun diterbit : 2001
Dicetak oleh : Pustaka Aman Press Senderian Berhad Kota Bharu.

2. Nama buku : Kitab Pelajaran tajwid
Nama Pengaran : Azahari Ibrahim
Penerbit : Darul Nu”man
Tahun diterbit : 1995
Dicetak oleh : Percetakan Darul Nukman Kuala Lumpur.

3. Nama buku : Cara mudah belajar tajwid al Quran
Nama Pengarang : Mohd Sofwan Amrullah
Penerbit : Pustaka Ilmi
Tahun diterbit : 1995
Dicetak oleh : Hikmat Enterprise Bandar Manjalara Kuala Lumpur



4. Nama buku : Kitab pelajaran tajwid
Nama Pengarang : Azahari Ibrahim
Penerbit : Jurnamin
Tahun diterbit : 1989
Dicetak oleh : Percetakan Jurnamin Kota Bharu Kelantan

5. Nama buku : Iqrak
Nama Pengarang : Dr. Mohamad Razak Al Siwahali
Penerbit : Jurnamin
Tahun diterbit : 1989
Dicetak oleh : Percetakan Jurnamin Kota Bharu Kelantan

6. Nama buku : Tajwid Ilmi dan Amali
Nama Pengarang : Ustaz Mahadi Dahlan Al Hafiz
Penerbit : Pustaka Haji Abdul Majid
Tahun diterbit : 1995
Dicetak oleh : Percetakan Warni Sdn. Bhd Selangor.

7. Nama buku : Kaedah Tajwid Rasm Uthmani dalam al Quran
Nama Pengarang : Mahadi Dahlan Al hafiz
Haji azhari Uthman Al hafiz
Penerbit : Al Hidayah
Tahun diterbit : 2003
Dicetak oleh : Al Hidayah Publish

8. Nama buku : Terjemah Hidayatul Mustafid Pada Hukum Ilmu Tajwid
Nama Pengarang : Syeikh Ali Bin abdullah Baldum
Ibni Rawi
Penerbit : Matbaah
Tahun diterbit : 1913
Dicetak oleh : Matbaah zi United Press,Pulau Pinang.

9. Nama buku : Kursus Qari Dan Qariah
Nama Pengarang : Abdullah Qari Bin Hj Salleh
Penerbit : Pustaka Aman Press
Tahun diterbit : 1988
Dicetak oleh : Pustaka Aman Press Sdn. Bhd.

10. Nama buku : Kursus Tilawah al Quran
Anjuran : Bahagian Pendidikan Islam
Kementerian Pendidikan Malaysia
Penerbit : Bahagian Pendidikan Islam
Kementerian Pendidikan Malaysia
Tahun diterbit : 1992
Dicetak oleh : Malindo Printers Sdn. Bhd.


11. Nama buku : Siraj Al Qari
Nama Pengarang : Sheikh Mohd Salleh bin Zainal Abidin
Penerbit : Jabal Maraki Enterprise
Tahun diterbit : 2007
Dicetak oleh : Percetakan dan Perniagaan Nik Daud Sdn. Bhd.
Kota Bharu Kelantan.

12. Nama buku : Belajar Al Quran Kaedah baru Serta Ilmu Tajwid
Lengkap
Nama Pengarang : Shahib Talib bin Haji Muhammad
Penerbit : Pustaka Ilmi
Tahun diterbit : 2002
Dicetak oleh : Hikmat Enterprise Bandar Manjalara Kuala Lumpur

13. Nama buku : Ilmu Al Quran Dan Tajwid
Nama Pengarang : Abdul Badi Saqar
Terjemahan oleh : Muhammad Labib Ahmad.
Penerbit : Pustaka Aman Press Sdn. Bhd
Tahun diterbit : 2003
Dicetak oleh : Pustaka Aman Press Sdn. Bhd

14. Nama buku : Tajwid dan Ilmu Al Quran
Nama Pengarang : Ustaz Hassan Mahmud Al Hafiz
Penerbit : Al Hidayah
Tahun diterbit : 1998
Dicetak oleh : Al Hidayah Publish

15. Nama buku : Qari Dan Qari
Nama Pengarang : Abdullah Al Qari bin Haji Salleh
Penerbit : Pustaka Aman Press Sdn. Bhd
Tahun diterbit : 2002
Dicetak oleh : Pustaka Aman Press Sdn. Bhd

16. Nama buku : Pengajaran Membaca Quran Cara Baru
Nama Pengarang : Abdullah Al Qari bin Haji Salleh
Penerbit : Pustaka Aman Press Sdn. Bhd
Tahun diterbit : 2004
Dicetak oleh : Pustaka Aman Press Sdn. Bhd

Tokoh-tokoh Imam Tajwid

i) Imam Asim

Bacaan al-Quran berasaskan kepada pengambilan daripada guru atau disebut
sebagai Talaqqi. setiap muslim mestilah mengetahui bahawa al-Quran
yang dibaca pada hari ini adalah hasil daripada sistem Talaqqi yang telah
dipraktikkan sejak zaman berzaman. Antara mereka yang terlibat dengan sistem
ini adalah Imam Asim.

Beliau ialah Asim bin Abi al-Najud al-Kufi. Nama bapanya ialah Abdullah dan
digelar Abu al-Najud. Manakala ibunya ialah Bahdalah dan Asim juga dikenali
sebagai Asim bin Bahdalah. Asim digelar dengan Abu Bakar al-Asadi al-Kufi.
Merupakan salah seorang ulama qurra’ yang seramai tujuh orang. Seorang tabi’in dan telah meriwayatkan daripada Abi Ramthah Rira’ah al-Tamimi dan al-Harith bin Hassan al-Bakri yang kedua-duanya merupakan sahabat Rasulullah s.a.w.

Imam Asim merupakan seorang ulama yang diakui keilmuannya sehingga
kepada beliaulah segala ilmu al-Quran terkumpul pada zamannya di Bandar
Kufah selepas Abu Abdul Rahman al-Sulami. Manusia pada zamannya
mengembara dari segala pelusuk dunia untuk menuntut ilmu daripadanya. Pada
Imam Asim terkumpul kefasihan dan ilmu Tajwid, ketekunan dan ketelitian.
Daripadanya telah diriwayatkan ilmu Qiraat oleh Hafs bin Sulaiman, Abu Bakar
Syu’bah bin ’Ayash dan kedua-duanya merupakan muridnya yang termasyhur.
Begitu juga murid-muridnya yang lain iaitu Abban bin Taghlab, Hammad bin
Salamah, Sulaiman bin Mihran al-’Amash, Abu al-Munzir Sallam bin Sulaiman,
Sahl bin Syu’ib, Syaiban bin Mu’awiyah dan ramai lagi.
Imam Asim meninggal dunia pada pengakhiran tahun 127H.

Kelebihan-kelebihannya

Imam Asim merupakan seorang Qurra’ amat yang tekenal dan mahir dengan
segala ilmu al-Quran. Merupakan seorang yang mempunyai suara yang amat
merdu apabila membaca al-Quran.

Berkata Syu’bah: Aku masuk kepada Asim, dan beliau dalam keadaan hampir
meninggal. Aku mendengar beliau mengulang-ulang ayat
ثم ردوا الى الله مولاهم الحق
Beliau membacanya dengan amat sempurna seumpama bacaannya di dalam
solat, kerana Tajwid di dalam pembacaan al-Quran adalah menjadi tabiat dan
kebiasaannya.

Sumbangan-sumbangannya
Sumbangan Imam Asim dalam perkembangan ilmu al-Quran dapat dilihat
melalui ramainya murid-murid yang menuntut ilmu ilmu al-Quran daripada
beliau. Antara mereka ialah Imam Hafs dan juga Imam Syu’bah. Melalui perawi
Imam Hafs bacaan Imam Asim telah berkembang dengan begitu luas ke serata
dunia umat Islam. Selain daripada itu, Imam al-Syatibi juga telah melakukan
pemilihan bacaan dalam riwayat Imam Hafs dan ini lebih melebarluaskan bacaan
Imam Asim.

ii) Imam Hafs

Sumbangan Imam Hafs dalam bacaan al-Quran adalah begitu besar.
Kebanyakan umat Islam di dunia pada hari ni membaca al-Quran dan
mencetaknya adalah mengikut riwayat Hafs.
Beliau ialah Abu Umar Hafs bin Sulaiman bin al-Mughirah bin Abi Daud al-
Asadi al-Kufi al-Bazzaz.

Riwayat Hidup dan Menuntut Ilmu

Hafs dilahirkan pada tahun 90H. Beliau mengambil ilmu Qiraat daripada Asim
yang merupakan ayah tirinya secara talaqqi.
Berkata al-Dani: Hafs mengambil Qiraat daripada Asim secara tilawah (bacaan).
Beliau pergi ke Baghdad dan mengajar serta membacakannya kepada manusia.
Kemudian menetap beberapa waktu di Mekah turut mengajar dan membacakan
kepada manusia.

Kelebihan-kelebihannya

Berkata Yahya bin Ma’in: Riwayat yang sahih daripada bacaan Asim adalah
riwayat Abi Umar Hafs bin Sulaiman. Berkata Abu Hisham al-Rifa’i: Hafs merupakan murid Asim yang paling alim dengan qiraat Asim, Beliau lebih rajih dan sahih daripada Syu’bah pada Dabt al- Huruf (meletakkan baris huruf-huruf al-Quran)

Sumbangan-sumbangannya

Hafs merupakan seorang ulama yang masyhur di dalam bidang Qiraat al-Quran.
Ulama-ulama terdahulu berperanan besar di dalam menyebarkan ilmu agama
Allah s.w.t. Begitu juga Hafs turut mempunyai ramai muridnya sebagai bukti
ketinggian ilmu dan sumbangannya kepada masyarakat Islam. Sumbangannya
melalui majlis-majlis ilmu, muzakarah, pengajaran dan sebagainya. Sehinggalah
ilmu Qiraat ini berkembang sampai ke hari ini.

Pada hari ini kebanyakan umat Islam menggunakan bacaan al-Quran mengikut
riwayat Hafs. Ini menunjukkan terdapat keistemewaan dalam riwayat ini
berbanding dengan riwayat-ruwayat lain. Antara keistemewaan riwayat ini ialah:



1. Sanad Imam Hafs bersambung dengan gurunya sehingga kepada
Rasulullah s.a.w.
2. Perawi-perawi sanad Imam Hafs adalah di kalangan ulama yang muktabar
dan dihormati pada zaman mereka.
3. Khilaf yang terdapat pada bacaan Imam Hafs adalah sedikit jika
dibandingkan dengan riwayat-riwayat lain seperti terdapat hanya satu
Imalah, satu Tashil, satu al-Raum atau al-Isymam, empat tempat Saktah
dan lain-lain.


iii) Imam Al-Syatibi

Nama al-Syatibi masyhur dan sering didengar sama ada dalam disiplin ilmu Tajwid atau ilmu Usul. Tetapi yang dimaksudkan disini ialah Imam al-Syatibi yangterkenal di dalam displin ilmu Qiraat atau Tajwid. Sumbangan besar Imam al-Syatibi dalam penyebaran ilmu al-Quran ialah melalui kitabnya Hirzu al-Amani
wa Wajhu al-Tahani.

Nama al-Syatibiy r.a ialah al-Qasim bin Fierruh bin Khalaf bin Ahmad al-Ruaini
al-Syatibiy al-Andalusi. Ia mempunyai dua gelaran iaitu Abu Muhamad dan Abu
al-Qasim.

Riwayat Hidup, Zaman Kemunculan dan Menuntut Ilmu

Al-Syatibiy dilahirkan di Syatibah iaitu satu kota yang mempunyai benteng yang
kukuh di timur Andalus. Ia terletak 56 kilometer dari kota Balansiyah. Penama
ini dilahirkan di akhir tahun 538 Hijrah dan ahli sejarah yang menulis
berkaitannya mengatakan bahawa ia adalah seorang buta. Tahun kelahiran dan wafat Shatibiy ialah antara 538 hingga 590 Hijrah. Dalam tempoh tersebut banyak kejadian penting berlaku antaranya ialah jatuh dan naiknya sesebuah kerajaan.beliau hidup dalam dua suasana berbeza iaitu Andalus dan Mesir.
Selain itu beliau juga amat menyukai ulama dan berusaha untuk mendampingi mereka. Di samping itu beliau juga menggalakkan ulama menulis dan mengarang. Dengan itu lahirlah ulama yang masyhur antaranya ialah Abu Bakar bin Tufail (meninggal pada tahun 581 Hijrah), Abu Wahid bin Rasyad (meninggal pada tahun 595 Hijrah). Tindakan yang dilakukannya juga telah memberi nafas baru kepada perkembangan majlismajlis ilmu di Andalus dan Maghrib dalam semua ilmu, khususnya Ulum al- Quran, Fekah dan Usul.

Beliau meninggal selepas solat Asar pada hari Ahad iaitu 28 Jamadil Akhir 590
Hijrah dan dikebumikan pada hari Isnin. Sembahyang jenazahnya diimamkan
oleh Abu Ishaq yang dikenali dengan al-’Iraqi. Beliau ialah Imam Jami’ Mesir
ketika itu. Usia al-Syatibiy ketika wafatnya ialah 52 tahun.

Keperibadian, Kelebihan dan Sumbangannya
al-Syatibiy mempunyai keperibadian yang tinggi sesuai dengan kedudukannya
sebagai guru al-Quran dan tempat rujukan di Mesir dan dunia Islam. Antara
keperibadian dan kelebihannya yang dapat dikutip melalui penulisannya dan
pujian ulama sezamannya adalah seperti berikut:-
(i) Ikhlas
Ramai dikalangan ulama memujinya dengan sifat ikhlasnya dalam
perkataan dan perbuatan sehinggalah ia tersenarai dalam sejarah Islam.
Diriwayatkan bahawa beliau pernah berkata: Tidak ada seseorang yang
membaca syairku ini melainkan Allah s.w.t. akan memberi manfaat
kepadanya lantaran aku menyusunnya kerana Allah s.w.t. dan ikhlas
dalam penulisan tersebut.
(ii) Mempunyai Ingatan yang Kuat
Al-Syatibiy menguasai beberapa ilmu. Faktor penguasaan ilmu tersebut
kerana beliau memiliki daya hafazan yang kuat dan ingatan yang mantap.
Daya ingatannya yang kuat membuatkannya mengatasi kawan-kawan dan
setiap ilmu yang dipelajari dapat dikuasainya dengan baik.
(iii) Sifat Wara’
Mengenai sifat wara’ al-Syatibiy, Abu Syamah telah berkata, guru kami
Abu al-Hassan Ali bin Mohamad al-Sakhawi r.a. telah memberitahu kepada
kami, bahawa sebab perpindahan al-Syatibiy ke Mesir ialah kerana ia
diarah memegang jawatan sebagai penceramah di Syatibah. Beliau menolak
tawaran tersebut dengan berhujah beliau akan ke Mekah untuk menunaikan ibadat haji.

(iv) Sifat Sabar
Al-Syatibiy telah diuji dengan ujian hilang penglihatan. Namun beliau tetap
bersabar dengan mementingkan keredhaan Allah s.w.t. Meskipun tidak
dapat melihat dengan mata tetapi penglihatan beliau begitu jauh dalam
urusan ilmu dan agama.
Sifat sabar al-Syatibiy juga dapat dilihat ketika beliau mengalami kesakitan,
beliau tidak mengadu dan meronta kesakitan.

(v) Beradab dengan Ulama
Antara paparan yang dilihat mengenai sifat beradab al-Syatibiy bersama
ulama ialah adabnya bersama Imam Abi Amru al-Dani pengarang kitab al-
Taisir. Al-Syatibiy telah mengarang dan mengolah matan qiraatnya Hirzu
al-Amani bersumber dari Kitab al-Taisir ini. Meskipun al-Syatibiy telah
mengolah dengan amat baik matannya itu dan diakui oleh ulama namun
beliau tidak melihat dirinya mengatasi Abi Amru dan beliau juga melihat
matannya juga tidak mengatasi al-Taisir.

(vi) Sifat Mulia
Al-Syatibiy r.a. mengadakan majlis pengajian selepas sembahyang subuh
hinggalah ke solat zohor. Sepanjang tempoh tersebut beliau mengajar dan
mendengar bacaan pelajarnya. Antara sikap beliau ialah melarang keras
pelajarnya bercakap disamping hal-hal yang tidak ada kaitan dengan ilmu.
Keperibadian Imam al-Syatibi
Ketika berada di Kaherah, al-Qadi al-Fadil telah meminta al-Syatibiy mengajar al-
Quran di sekolahnya yang bernama al-Fadhiliyah. Bintang al-Syatibiy bersinar di
Kaherah dan Mesir keseluruhannya. Beliau menjadi guru al-Quran di Mesir dan
diatur oleh semua pihak. Pelajar-pelajarnya datang dari setiap pelusok Mesir dan
negara Islam lain untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam khususnya Qiraat Tujuh.
Al-Syatibiy amat mengambil berat tentang Qiraat Tujuh dan pengajarannya lebih
tertumpu kepada pelajaran Qiraat Tujuh.

Kepintaran al-Syatibiy dan kelebihan yang dimilikinya adalah menjadikan al-
Syatibiy tempat rujukan ulama dalam ilmu qiraat di Mesir. Sebelum al-Syatibiy
mengarang syairnya Hirzu al-Amaniy dalam Qiraat Tujuh.

Pentadbikan Bacaan Khusus Hafs Toriq Al-Syatibi
Wajib ke atas semua yang membaca al-Quran dengan riwayat Hafs daripada
Asim dengan toriq al-Syatibiyyah untuk memastikan bacaannya menepati
beberapa perkara yang akan diterangkan. Ini adalah supaya tidak berlaku
percampuran antara toriq-toriq yang lain. Jika percampuran ini berlaku, ia
merupakan suatu keaiban di sisi ulama Qurra’. Di antara perkara-perkara utama
di dalam bacaan riwayat Hafs toriq al-Sytibiyyah:

1. Al-Takbir ( lafaz Allahu Akbar) lafaz al-Takbir tidak ada pada akhir surah
al-Dhuha sehinggalah ke akhir mushaf (akhir al-Quran) mengikut toriq ini.

2. Dipanjangkan al-Mad al-Munfasil dengan kadar empat atau lima harkat.
Panjang yang paling utama dan afdal ialah empat harkat.

3. Dipanjangkan al-Mad al-Muttasil dengan kadar empat atau lima harkat.
Panjang yang paling utama dan afdal ialah empat harkat.

4. Diidghamkan Nun Sakinah dan tanwin pada huruf lam dan ra’ tanpa
dengung.

5. Imam Hafs tidak akan melakukan Saktah kecuali pada empat tempat yang
akan diterangkan kelak.

6. Diizharkan nun selepas daripada wau pada lafaz (( يس)) dan (( ن )) ketika
dibaca secara wasal dengan kalimah selepas daripadanya. Tiada idgham di
antara nun dan wau pada kalimah (( يس والقران الحكيم )) Surah Yasin: 2 dan pada kalimah (( ن والقلم وما يسطرون )). Surah al-Qalam: 1

7. Harus pada kalimah (( سلا سلا )) Surah al-Insan: 4, ketika waqaf dibaca
dengan dua wajah:

a) Hazaf (membuang) iaitu membuang huruf alif yang terakhir dan waqaf
pada kalimah ini dengan sukun huruf lam.

b) Isbat (menetapkan) huruf alif.
Akan tetapi ketika wasal dibaca secara hazaf sahaja.

8. Harus pada kalimah (( ضعف )) dan kalimah (( ضعفا )) pada firman Allah
Taala: Surah al-Rum: 54.
Dibaca dengan dua wajah iaitu dengan baris atas huruf dhad 􀎽 atau baris
hadapan. Kedua-dua wajah ini adalah sahih dan dibaca melalui toriq Hafs
daripada Asim dengan toriq al-Syatibiyyah. Baris atas adalah kebih baik
daripada baris hadapan

9. Harus pada kalimah (( فما ءاتانى )) pada firman Allah Taala Surah al-Naml:36
ketika diwaqafkan dua wajah iaitu: Dengan mengisbatkan (menetapkan)
ya atau menghazafkannya (membuang atau menghilangkannya). Iaitu
dengan mewaqafkan pada nun sakinah atau al-Raum. Bentuk atau wajah
yang pertama lebih utama untuk dibaca. Jika dibaca secara wasal, maka
dengan mengisbatkan huruf ya berbaris atas.

10. Harus pada kalimah (( فرق )) dua wajah iaitu dengan Tafkhim dan al-
Tarqiq. Pada firman Allah Taala Surah al-Syu’ara : 63.
Bacaan secara Tarqiq lebih utama.

11. Dipanjangkan huruf ’Ain pada pembukaan dua surah iaitu surah Maryam
(( كهيعص )) dan Surah al-Syura’ ((حم عسق)) dengan kadar empat atau enam
harkat secara harus. Panjang kadar enam harkat adalah lebih utama.

12. Disaktah pada kalimah-kalimah berikut: ((عوجا)) surah al-Kahfi: 1, (مرقدنا))
surah Yasin: 52, ((من راق)) surah al-Qiyamah: 27 dan ((بل ران)) surah al-
Mutaffifin: 14.

13. Harus pada kalimah ((لا تأمنا)) pada firman Allah Taala Surah Yusuf : 11
dibaca dengan dua wajah, iaitu:
(a) Al-Isymam, iaitu mengisyaratkan dengan mulut akan bentuk baris
hadapan ketika menyebut huruf nun yang bersabdu. Dimana hanya
akan diketahui oleh orang yang boleh melihat dan tidak bagi orang
yang buta.

(b) Al-Ikhtilas, iaitu ikhtilas merupakan baris hadapan ketika menyebut
huruf nun. Dimana kekalnya dua pertiga sebutan dan hilang satu
pertiga. Untuk menyempurnakan al-Ikhtilas, dibukakan idgham. Al-
Ikhtilas ini adalah lebih baik bagi bacaan ayat al-Quran tersebut.

14. Wajib idgham ba’ kepada mim Idgham Mutajanisain. Pada kalimah
اركب معنا Surah Hud: 42.

15. Wajib idgham tha’ kepada zal Idgham Mutajanisain di dalam firman Allah
Taala ((يلهث ذلك)) Surah al-A’raf: 176.

16. Harus dibaca dengan dua wajah pada bab kalimah (( ءاالذكرين )) iaitu di dua tempat di dalam Surah al-An’am, kalimahءالنن di dua tempat di dalam Surah Yunus dan (( الله )) pada Surah Yunus dan al-Naml. Wajah-wajah
tersebut ialah:

(a) Dibaca dengan Ibdalkannya dengan alif bersama dengan al-Isyba’
(Mad Lazim Kalimi Muthaqqal).

(b) Dibaca dengan tashilkannya di antara hamzah dan alif bersama
dipendekkan sebanyak dua harkat.
17. Dibaca (( بمصيطر )): Surah al-Ghasyiah: 22 dengan huruf sod.

18. Harus pada kalimah (( فطمسنا )) Surah al-Qamar: 37 dibaca dengan dua
wajah iaitu dengan huruf sod dan sin. Bacaan yang lebih utama ialah
dengan sod.

19. Dibaca kalimah (( ويبسط )) Surah al-Baqarah: 245 dan kalimah (( بصطة)) Surah al-A’raf : 69 dengan huruf sin.

20. Harus pada kalimah ((ماليه )) (( هلك )) dua wajah iaitu:

(a) Al-Izhar bersama dengan Saktah Latifah tanpa bernafas pada huruf
Ha’((ماليه)) dan inilah yang paling baik.

(b) Dibaca dengan Idgham. Harus waqaf pada kalimah (( ماليه )) waqaf
yang sempurna dengan mengambil nafas. Ini kerana ia adalah
permulaan ayat dan waqaf pada permulaan ayat merupakan sunnah
secara mutlak.

21. Hukum kalimah menjadi Idgham Kamil apabila dihilangkan sifat al-Isti’la’
bagi huruf qaf dan disebut dengan huruf kaf yang bertashdid (bersabdu)
tashdid yang sempurna. Dan ia menjadi Idgham Naqis dengan
mengekalkan sifat al-Isti’la’ padanya iaitu pada kalimah (( نخلقكم )) daripada
firman Allah Taala di dalam Surah al-Mursilat: 20

22. Bacaan Hafs daripada Asim daripada semua turuqnya pada kalimah
مجرئها )) di dalam firman Allah Taala di dalam Surah Hud: 41

Adalah secara Imalah huruf alif selepas ra’ secara Imalah Kubra. Tiada bagi
Hafs pada kalimah yang mengandungi huruf ra' dibaca dengan Imalah
kecuali pada ayat ini.

23. Dibaca secara Tashil mengikut riwayat Hafs daripada Asim pada semua
turuqnya satu wajah sahaja iaitu pada huruf hamzah kedua di antara
hamzah dan alif pada kalimah (( ءاعجمي)) pada firman Allah Taala di dalam Surah Fussilat: 44

Tariq Ibnu Al-Jazari

Nama sebenar beliau ialah Mohamrd Ibn Mohamed Ibn Ali Ibn Yusof al-Umri al-Dimashqi.Beliau lebih dikenali sebagai Ibn al-Jazari.
Ibn al-Jazari lahir pada malam sabtu 25 Ramadhan 751 H di Damsyik. Meninggal pada tahun 833 H. Bapanya adalah seorang ahli perniagaan dan sangat mengambil berat tentang ilmu. Beliau telah memberi didikan menghafaz al-Quran kepada Ibn al-Jazari secara bertajwid. Disamping itu Ibn al-Jazari juga ada mempelajari ilmu-ilmu lain seperti hadis dan feqah.
Ibn al-Jazari hidup pada akhir kurun ke 7 H dan permulaan kurun ke 8 H di Damsyik. Damsyik ketika itu merupakan pusat pemerintahan kerajaan Mamalik. Mamalik merupakan segolongan tawanan yang terdiri daripada orang Turki, Jarakisah dan Monggul.Mereka didatangkan sebagai askar bagi mengekalkan kuasa kerajaan Auyubiyyun. Mereka adalah seperti pegawai keselamatan yang khusus menjaga kerajaan.
Di kalangan pemerintah dan rakyat,aktiviti keagamaan sangat diberi perhatian dan tanggungjawab. Hal ini dapat dilihat dengan terdirinya masjid,masjid, madrasah-madrasah dan juga halaqah-halaqah ilmu. Perkembangan agama sangat aktif disebabkan faktor peperangan agama iaitu melawan Tatar dan juga peperangan salib.
Justeru itu banyaklah penulisan-penulisan kitab dihasilkan oleh ulamak. Antara ulamak yang tersohor ialah Iz abdul Salam (577 – 660 ),al- Nawawi ( 631 – 676 ), Ibn Taimiyah (661- 728), Ibn Jamaah (639 – 733), al-Muizzi (742), Ibn Qudamah (705 – 744), al-Zahabi (673 – 748), Ibnu Qayyim al-Jauzaiah (691 – 751), Ibn Kathir (701 – 774), Ibn Hajar (774 – 852),dan ibn al-Jazari adalah seorang ulamak yang namanya sebaris dengan mereka yang di atas. Sebahagian daripada mereka itu adalah guru kepada al-Jazari.
Ibn al-Jazari bermula pengajiannya dengan menghafaz al-Quran,ketika berusia 13 tahun.Antara gurunya ialah Syeikh Abi Mohamed Abd Wahab, Syeikh Ahmed Ibn Ibrahim al-Tham,Syeikh Ahmad Ibn Rajab.Mereka ini mempunyai kepakaran dalam pengajian ilmu Qiraat.Manakala Syeikh Ibrahim al-Hamami dan Abi al-Ma’li Mohamed Ibn Ahmad al-Lubnan adalah gurunya yang memberi tunjuk ajar dalam tujuh Qiraat.
Pada tahun 768H , Ibn al-Jazari telah pergi menunaikan haji di Mekah, ketika itu telah membaca dihadapan imam dan khatib masjid nabi Abi Abdillah Mohammad Ibn salih al-Khatib melalui kitab al-Taisir dan al-Khafi. Pada tahun 769H, beliau bermusafir ke Qaherah,Mesir.Di sana beliau telah membaca 12 Qiraat daripada Syeikh Abi Bakar Abdullah al-Junaidi. Disamping itu beliau juga mempelajari dari Abi Abdillah Mohd Ibn al-Sigah dan Abi Mohamed Abdurrahman Ibn al-Baghdadi melalui kitab al-Unwan, al-Taisir dan al-Syatibiya. Setelah tamat pengajian,beliau kembali ke Damsyik.
Beliau telah pergi ke Mesir untuk kali kedua, di sana beliau membaca sepuluh Qiraat daripada Ibn al-Saigh, manakala Ibn al-Baghdadi beliau telah membaca empat belas Qiraat tidak termasuk Qiraat al-Yazidy.
Setelah pulang dari Mesir,Ibn al-Jazari telah mengkhatamkan 7 Qiraat dihadapan gurunya Ali al-Qadhi Abi Yusof Ahmad Ibn al-Huzim al-Hanafi. Beliau teruskan pengajiannya untuk kali ketiga di Mesir.Kali ini beliau membaca dihadaapan Syeikh Abdul Wahab al-Qurawi melalui kitab al-iklan dan lain-lain.Kemudian beliau meneruskan perjalanan ke Iskandariyah dan membaca Qiraat dihadapan Qari yang tersohor ketika itu iaitu Ibn al-Damamini.

Keistimewaan-keistimewaan al-Jazari

Kedudukan al-Jazari dalam ilmu Qiraat sangat dipandang tinggi,samada pada zamannya atau sesudah zamannya.Ia bukar sekadar secara kebetulan semata-mata tetapi is adalah usaha beliau yang berterusan dengan mempelajari dari banyak guru dan sanggup bermusafir dari sudut negeri ke negeri untuk berjumpa dan membaca al-Quran dihadapan guru. Namanya terus diingati hingga kehari ini. Antara pujian dan penghormatan ulamak yang diberikan kepadanya adalah seperti berikut:
Al-Shakawi “Ibn al-Jazri,unggul dad satu sudut tinggi periwayatan, menghafaz hadith,alim tentang al-Jarh Wa al-ta’dil, mengetahui perihal perawi-perawi yang terdahulu dan kemudian.
Al- Sayuti berkata “Ibn al-Jazari adalah seorang al-Hafiz, al-muqri dan Syeikh al-Quran dizamannya”. Beliau juga berkata “Ibn al-Jazari adalah imam dalam Qiraat yang tiada tandingan pada zamannya didunia ini”.
Al-Malla Ali al-Qari berkata” al-Allamah,Syeikh al-Islam untuk orang-orang Islam,penyudah seluruh al-Hafiz dan al-Muhadithin”.
Al-Dabbagh berkata” Sesungguhnya kitab al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyr adalah khabar gembira,dalil yang jelas,menunjukkan penulisnya seorang yang bijak dan tinggi kedudukannya.Sehinggalah beliau digelar Imam al-Muqrinin,penyudah segala al-Hafizin al-Muhaqiqin. Beliau juga adalah Imam al-Hujjaj,al-Thabt,al-Muhaqiq Syeikh al-Islam.

Sumbangan dan Penulisannya

Pada tahun 774H, Abu al-Fida Ismail Ibn Kathir telah mengizin dan mengijazahkan Ibn al-Jazari untuk berfatwa. Ijazah Fatwa juga telah diberi oleh Diya ai-Din al-Qazuwaini pada tahun 775H. Pada tahun785H,Syeikh ai-Islam dan al-Bulaqimi juga telah mengijazah beliau untuk berfatwa. Ibn al-Jazari mula mengajar al-Quran di Janu’bani Umaiyah.Beliau juga merupakan pakar rujuk di Adiliyah,Dar al-Hadith al-Asyrafiyyah,Turbah Umi al-Salih.
Ibn al-Jzari juga merupakan ulamak yang maengkayakan perpustakaan Islam dengan penulisan-penulisan yang berharga.Penulisannya meliputi hadith,al-Quran dan al-Qiraat. Akan tetapi bidang Qiraat merupakan bidang yang banyak dihasilkan berbanding ilmu-ilmu Islam yang lain. Sebahgian penulisannya telah diterbitkan dan banyak lagi penulisannya dalam bnetuk manuskrip yang belum dicetak.
Antara kitab-kitabnya yang mashyur adalah seperti berikut:
Al-Nasyr Fi Al-Qiraat Al-A’syr : Kitab ini mengandungi riwayat al-Quran yang sahih.Di dalam kitab ini terrdapat bacaan sepuluQurra.Setiap Imam disebut dua perawi,setiap perawi disebut dua tariq.Setiap tariq disebut dua sumber iaitu magrhibiyah dan masriqiyah dan iraqiyah.
Taqrib Al-Nasyr Fi Al-Qiraat Al-A’syr: Kitab ini adalah ringkasan bagi itab al-nasyr. Kandungannya ialah imam-imam, tariq-triq yang mashyur dan sah disisi ulamak terdahulu.
Ghayah Al-Nihayah Fi Tabaqat Al-Qurra: Kitab ini mempunyai dua jilid, ringkasan kepada kitabnya “ninayah alDirayat Fi asma Rijal al-Qiraat”.Merupakan rujukan terpenting dalam pengenalan Qurra.
Tayyibah Al-Nasyr Fi Qiraat Al-Asyr: Kitab ini berbentuk matan,mengandungi 1000 bait syair tentang qiraat sepuluh mutawatirah yang diriwayat dari Rasulullah.bBeliau telah mengikut method yang dibuat oleh Syatiby bagi memudahkan pelajar memahami,menghafaz ilmu ini.matan ini telah disyarah oleh Ulamak. Antara mereka ialah penulisnya sendiri (Ibn al-jazari), anaknya Muhamad (780-859), Syeikh Mohammad al-munir ibn Hasan alSamanawdi (1099-1199H).
Munjid Ai-Muqrien Wa Mursyid Ai-Talibin: Kitab ini adalah kitab yang terunggul dalam bidangnya.Penulis kitab ini telah menghurai panjang lebar untuk mempertahankan ilmu Qiraat. Kandungannya juga ada sebut tentang 3 Qiraat yang mempercukupkan 10 Qiraat iaitu Qiraat Abi Jaafar, Ya’kub dan Khalaf. Beliau telah membuktikan bahawa 3 Qiraat itu adalah mutawatir.
Matan Al-Durrah Al-Mudhiyyah Al-Qiraat Al-Thalathah Al-Mutamimah Li Aia’Syarah: Kitab ini ditulis dalam bentuk syair.Jumlahnya 241.Selesai ditulis pada tahun 823H iaitu ketika lawatannya ke U’naizah di Najd. Rujukan utama Matn ini ialah melaui karangannya juga iaitu Tahbir al-Taisir. Pada tahun 1414H cetakan Matn ini disahkan oleh Syeikh Mohamed Tamim al-Zubi dan diterbitkan oleh Maktabah dar al-Huda.
Kepentingan Matn ini begitu tinggi dalam ilmu Qiraat dan menjadi sebab bebrapa ulamak telah menghasilkan Syarah,antara mereka ialah:
Syarh al-Imam al-Zubaidy (848H)
Syarh al-Imam Nuwairy (897H)
Syarh al-Imam Samanawdy



Tiga Qurra pilihan Ibn Jazari

Ibn Jazari telah melakukan penyelidikan terhadap wajah-wajah bacan al-Quran. Penyelidikan itu merangkumi dan mengenalpasti sesuatu bacaan itu sahih atau sebaliknya. Jika dilihat kepada penerimaan Qiraat,ia bermula dengan ijtihad Ibn Mujahid (324H) dengan memilih tujuh Qurra dan setiap Qurra mempunyai dua perawi. Selepas hamper 400 tahun, kaummuslimin beramal dengan pandangan ilmu Mujahid,lahir seorang tokoh yang menambah bacaan tersebut dari Qari 7 Qiraat kepada 10 Qiraat.
Penambahan 3 Qiraat lagi adalah berdasarkan kepada penyelidikan yang berasas kepada ilmu yang mendalam dan amat teliti. Penambhan 3 Qurra iaitu Abu Jaafar, Ya’akub dan Khalaf masih menepati 3 rukun Qiraat yang dibuat oleh Ibn Mujahid. Tiga rukun Qiraat ialah,pertama Sanad yang sahih, kedua menepati tulisan rasm Othmani dan ketiga menepati wajah bahasa arab yang fasih.
Tiga Qurra yang dipilih adalah seperti berikut:
Abu Jaafar al-Madani
Beliau ialah Abu Yazid ibn Qaqa’ al-Makhzumi.Guru-guru beliau dalam bidang al-Quran ialah Abdullah ibn A’isyah, Abdullah ibn Abbas dan Abu Hurairah. Ketiga-tiga sahabat ini mempelajari dari Uabay ibn Kaab.Abu Hurairah dan Ibn Abbas mempelajari dari Zaid ibn Thabit.Manakala Zaid ibn Thabit dan Ubay ibn Kaab mengambil bacaan dari Rasulullah. Dua orang perawinya ialah Ibn Wardan dan Ibn Jammaz.
Yaakub al-Hadrami
Beliau ialah Ya’akub ibn Ishak ibn Zaid Abdillah Ibn Abi Ishaq al-Hadrami al-Basri. Antara guru-gurunya ialah Abi al-Munzir Sallam ibn Sulaiman, Abu Yahya, Mahdi ibn Maimun. Ya’akub juga mempelajari dari Hamzah dan al-Kisai.Gurunya Sallam telah mempelajari dari A’sim dan Abi Amru. Dua perawinya ialah Ruwais dan Raul.
Khalaf
Beliau ialah Khalaf ibn Hisyam ibn Tha’lab ibn khalaf al-Asadi. Lahir pada tahun 150H dan menghafaz al-Quran dalam usia 10 tahun. Dalam bidang al-Quran, beliau mempelajari dari Sulaiman ibn Isa dan Abdurrahman ibn Hamad yang mempelajari dari Hamzah. Ibn Asytah berkata” Khalafh mengambil dan berpegang dengan mazhab Hamzah tetapi terdapat 120 tempat yang berbeza dengan gurunya. Beliau gurunya Ibn al-Jazari telah mengkaji pilihan Khalaf tersebut dan mendapati tidak terkeluar dari bacaan orang-orang Kufah,bahkan tidak ada perbezaan yang ketara dengtan bacaan Hamzah,Kisai dan Syukbah kecuali pada ayat ( وحرام على قرية )
Al—an biya. Beliau membaca seperti Hafs dan Khalaf .Meninggal pada tahun 229H. Dua perawinya ialah Ishaq dan Idris.